Aku, aku, aku yang menjadi sedemikian ini
"Dimana ya, suatu daerah yang perempuannya jadi kepala keluarga?" tanyamu.
Di kota yang jauh, ternyata cukup mengerikan melihat diriku sendiri. Menghilang terseret arus. Berserakan bersama arak-arak awan. Terhanyut dalam kalut, berjarak sungguh jauh dengan masa lalu. Aku tahu aku berubah semenjak bertemu denganmu.
Bayangkan saja, aku harus menghadapi senyumanmu yang membuatku merinding karena kengerian setiap pagi. Sering kudengar derap sepatumu bersentuhan dengan jalanan yang berbatu. Aku ingat setiap aroma basah pagi, tanah, dan keringat yang membahasi seluruh dahi mu yang gugup sambil lalu.
"Kita keren ya, bisa hidup sampai sekarang. Duduk. Sambil ngeluarin asep pake bentuk-bentuk."
Aku berusaha menikmati setiap seratus dua puluh menit yang kuhabiskan di atas motor denganmu. Atau ketika kita duduk bersama menunggu si kawan dari Yogyakarta, ditemani secangkir kopi susu yang dibubuhi banyak gula. Memeluk udara kota.
Aku sering kesal dengan dompet yang tipis, atau kita yang menghutang pada Ibu penjual di seberang terminal kota-hanya demi sebatang rokok atau iuran buat beli cairan vapor. Kita bergaya menjadi manusia dewasa. Padahal kita cuma anak-anak yang takut menjadi tua.
"Nanti, kalau udah ketemu, kenalin dulu ke aku. Nanti dia ku tes dulu." katamu, malam itu. Kala itu, debu, dan asap kendaraan, serta suara rel kereta, menyamarkan asap vapor kita.
Di kota yang jauh, ternyata cukup mengerikan melihat diriku sendiri. Menghilang terseret arus. Berserakan bersama arak-arak awan. Terhanyut dalam kalut, berjarak sungguh jauh dengan masa lalu. Aku tahu aku berubah semenjak bertemu denganmu.
Bayangkan saja, aku harus menghadapi senyumanmu yang membuatku merinding karena kengerian setiap pagi. Sering kudengar derap sepatumu bersentuhan dengan jalanan yang berbatu. Aku ingat setiap aroma basah pagi, tanah, dan keringat yang membahasi seluruh dahi mu yang gugup sambil lalu.
"Kita keren ya, bisa hidup sampai sekarang. Duduk. Sambil ngeluarin asep pake bentuk-bentuk."
Aku berusaha menikmati setiap seratus dua puluh menit yang kuhabiskan di atas motor denganmu. Atau ketika kita duduk bersama menunggu si kawan dari Yogyakarta, ditemani secangkir kopi susu yang dibubuhi banyak gula. Memeluk udara kota.
Aku sering kesal dengan dompet yang tipis, atau kita yang menghutang pada Ibu penjual di seberang terminal kota-hanya demi sebatang rokok atau iuran buat beli cairan vapor. Kita bergaya menjadi manusia dewasa. Padahal kita cuma anak-anak yang takut menjadi tua.
"Nanti, kalau udah ketemu, kenalin dulu ke aku. Nanti dia ku tes dulu." katamu, malam itu. Kala itu, debu, dan asap kendaraan, serta suara rel kereta, menyamarkan asap vapor kita.
Komentar
Posting Komentar
Komentar?